ISO 9001 versi 2008 maupun versi sebelumnya senantiasa mengharapkan bahwa semua orang yang mengerjakan tugasnya haruslah didukung dengan kemampuan terkait yang dibuktikan dengan sertifikat atau pengalaman yang terdokumentasi dan bisa ditunjukkan buktinya.
Konsep yang akhir-akhir ini cukup populer seperti misalnya Balanced Scorecard menempatkan perspektif Modal Sumber daya manusia ( Human capital ) sebagai titik awal dan titik tolak upaya peningkatan kinerja organisasi secara keseluruhan. Disini pendekatan tentang masalah manusia mengalami pergeseran dari mulai manajemen personalia , kemudian manajemen SDM ( Human Resources Management ) dan sekarang manusia telah ditingkatan harkatnya dalam organisasi sebagai capital atau modal utama dan dikelola melalui Human Capital Management.
Untuk meningkatkan kinerja organisasi tentunya pertama berawal dari Sasaran organisasi yang bersumber dari Visi atau dream organisasi dan Misi yang diemban untuk mewujudkan impiannya. Sasaran organisasi dideploy lagi kebawah keseluruh jajaran secara berjenjang. Agar supaya sasaran bisa dicapai maka tentunya diperlukan berbagai Standard Operating Procedure untuk meyakinkan bahwa proses meraih sasaran bisa berjalan dengan baik.
Prosedur harus ada untuk proses yang memang memerlukan adanya prosedur. Kesemuanya tentu berawal dari penyusunan struktur organisasi yang jelas , pembagian tugas yang tidak tumpang tindih dan kemudian tata cara berkomunikasi dan berkoordinasi menjadi kebutuhan selanjutnya agar organisasi berjalan dengan baik.
Secara umum organisasi sulit berjalan dengan baik apabila tidak ada uraian tugas atau job description yang tersusun dengan baik dan jelas. Job description ini akan memungkinkan kita bisa menyusun persyaratan yang diperlukan untuk bisa menduduki suatu posisi dalam organisasi. Inilah yang kemudian kita istilahkan sebagai Occupational Competency , tidak hanya sekedar competency. Karena Competency yang tidak occupational atau tidak terkait dengan tempat kita melakukan aktifitas tidak akan berkontribusi terhadap pencapaian sasaran kinerja organisasi apapun baik Pemerintah , Swasta maupun kemasyarakatan.
Diskusi selanjutnya adalah bagaimana kita mengkaitkan hal diatas dengan upaya Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jendral PNFI khususnya di jalur Pendidikan Non Formal mengembangkan Program Life Skills. Yang jelas bahwa Program life skills dijalankan untuk meningkatkan ketrampilan, kecakapan, dan profesionalisme warga belajar sesuai dengan bakat, minat, perkembangan fisik dan jiwanya, serta potensi lingkungannya, sebagai bekal untuk dapat bekerja atau berusaha mandiri dalam rangka mengurangi pengangguran, mengentaskan kemiskinan dan buta aksara yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Seseorang dikatakan kompeten untuk melaksanakan tugasnya apabila dia memiliki pengetahuan terkait tugasnya , ketrampilan melaksanakan tugasnya dan memiliki sikap dan perilaku yang mendukung kegiatan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian apabila kita memberikan pembekalan kepada obyek program Life skills maka materi pembekalan ketrampilan haruslah memang sifatnya occupational sesuai tuntutan pekerjaan.
Mengingat Program Life Skills menyangkut dana yang cukup besar maka perlu dipertimbangkan atau dievaluasi apakah kompentensi yang diharapkan bisa dicapai setelah melalui prose pembekalan sesuai dengan bidang kegiatan yang dilakukan. Memang kita memiliki tools untuk mengevaluasi keberhasilan Program melalui pembuktian diterimanya obyek program atau peserta program Life Skills di DUDI. Namun itu hanya bisa dilihat setelah proses pembekalan selesai. Yang diharapkan adalah bahwa justru sebelum pembekalan dilakukan harus ada suatu kepastian bahwa proses pembekalan sesuai dengan kurikulum standard dan SKKNI. Salam Fortuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar